PERPAJAKAN
KASUS
PENUNGGAKAN PAJAK PT. PERTAMINA (persero)
SEKOLAH TINGGI
ILMU EKONOMI (STIE) AMM MATARAM
KASUS PENUNGGAKAN PAJAK
PT.PERTAMINA (PERSERO)
Judul : Pertamina Tunggak Pajak Rp 4,3 Triliun
Tema : Penunggakan Pajak
Para
Pihak : PT. Pertamina (Persero) dan Ditjen Pajak
Posisi
Kasus :
Kasus ini merupakan kasus
penunggakan pajak oleh PT. Pertamina (Persero), dimana seperti dilansir dalam
portal berita vivanews.com, perusahaan ini telah menunggak pajak sebesar Rp 4,3
Triliun. Seperti diungkapkan oleh Anggota Komisi XI Murady Darmansyah
mengungkap perihal tunggakan pajak PT Pertamina sebesar Rp 4,3 triliun kepada
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Walaupun tidak dijelaskan secara rinci
mengenai jumlah tersebut, saya mencoba untuk menganilis dari segi hukum pajak
tentang apa yang pokok permasalahan dalam kasus ini. Perlu diketahui bahwa
tunggakan pajak tersebut merupakan tunggakan pajak yang belum kadaluwarsa. Jadi
penyelesaiannya kasusnya dapat segera diselesaikan.
Dalam artikel ini juga menyebutkan
perusahaan-perusahaan lain yang terlibat kasus yang sama mengenai penunggakan
pembayaran pajak. Ditjen pajak mengatakan bahwa terdapat 100 perusahaan yang
terlibat penunggakan pajak, 12 di antaranya merupakan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Perusahaan tersebut banyak yang merasa telah membayar pajak. Namun
kenyataan di lapangan, perusahaan-perusahaan tersebut belum menuntaskan
pembayaran pajaknya. Salah satu perusahaan yang menjadi fokus permasalahan
dalam analisis kasus ini adalah PT. Pertamina (Persero). Sebagaimana dijelaskan
diatas penunggakan pajak menjadi suatu permasalahan yang serius. Dengan
demikian terdapat kewajiban bagi yang bersangkutan untuk melunaskannya. Kami berusaha
menganalisis kasus penunggakan pajak ini dalam perspektif hukum pajak
sebagaimana mata kuliah yang sedang kami tempuh.
ANALISIS
KASUS
Kasus
mengenai penunggakan pajak bukan merupakan kasus baru. Kasus ini telah banyak
terjadi sejak lama. Berbagai peraturan perpajakan yang telah dibentuk seiring
kemajuan teknologi belum efektif dalam menyelesaikan kasus ini. Target
penerimaan pajak yang diharapkan menjadi sulit dicapai akibat dari permasalahan
ini. Oleh karena itu saya akan menguraikan dasar hukum dan beberapa teori untuk
menjelaskan apa yang menjadi pokok permasalahan dalam kasus ini.
Dalam
reformasi perpajakan tahun 1983, sistem pemungutan pajak telah mengalami
perubahan yang cukup signifikan yaitu official assesment system menjadi self
assesment system. Berbeda dengan official assesment system, dalam self
assesment system, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, menyetor
dan melaporkan sendiri pajaknya.
Pemerintah
juga melakukan pembaharuan yang menyangkut kebijakan perpajakan, adminstrasi
perpajakan, dan undang-undang perpajakan yang saling berhubungan satu sama lain
untuk mencapai target penerimaan pajak secara optimal. Negara juga memberi
tanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk bertindak sebagai law
enforcement agent, yaitu tindak penegakan hukum yang meliputi pemeriksaan,
penyidikan, dan penagihan. Ini merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh
Dirjen Pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak selain setoran pembayaran
pajak secara sukarela.Namun optimalisasi penerimaan pajak masih terbentur pada berbagai
kendala. Dalam jangka pendek, salah satu kendalanya adalah tingginya angka
tunggakan pajak, baik yang murni penghindaran pajak (tax avoidance) maupun
ketidakmampuan membayar utang pajak.
Untuk
mengatasi berbagai kendala perlu dilaksanakan tindakan penagihan yang mempunyai
kekuatan hukum yang memaksa. Tindakan penagihan meliputi pemberitahuan surat
teguran, penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, serta menjualbarang yang
telah disita berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 19
tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000.
Tindakan
penagihan merupakan wujud upaya untuk mencairkan tunggakan pajak, namun dalam
pelaksanaan penagihan haruslah memperhatikan prinsipkeseimbangan antara biaya
penagihan dengan penerimaan yang didapatkan karena pelaksanaan penagihan dalam
rangka pencairan tunggakan pajak mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Pelaksanaan
penagihan pajak yang tegas, konsisten dan konsekuendiharapkan akan dapat
membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam membayarkan
hutang pajaknya. Hal ini merupakan posisi strategis dalam meningkatkan
penerimaan negara dari sektor pajak sehingga tindakan penagihan pajak tersebut
dapat menyelamatkan penerimaan pajak yang tertunda. Kegiatan penagihan pajak
merupakan ujung tombak dalam menyelamatkan penerimaan Negara yang tertunda,
oleh sebab itu seksi penagihan merupakan seksi produksi yang paling dibanggakan
oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dalam pelaksanaaanya penagihan pajak haruslah
dilandaskan pada peraturan perundang - undangan yang berlaku., sehingga
mempunyai kekuatan hukum baik bagi wajib pajak maupun aparatur pajaknya.
Penagihan
Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak
dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan
pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang
yang telah disita (Pasal 1 angka 9 UU No. 19
tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa).
Dalam
Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
atau KUP, Dasar penagihan pajak yaitu:
1)
Pasal 18 ayat (1) UU KUP menyebutkan dasar penagihan pajak adalah:
a.
Surat Tagihan Pajak(SPT)
b.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
c.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
d.
Surat Keputusan Pembetulan , Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
2)
Pasal 12UU PBB menyebutkan dasar penagihan pajak adalah :
a.
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
b.
Surat ketetapan pajak
c.
Surat Tagihan Pajak (SPT) merupakan dasar penagihan pajak.
Dengan
demikian akibat adanya kasus penunggakan pajak oleh Pertamina, maka Ditjen
Pajak berhak melakukan serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi
utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan,
melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa,
mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan,
menjual barang yang telah disita sebagaimana telah diatur pada Pasal 1 angka 9
UU No. 19 tahun 2000 tentang penagihan
pajak dengan surat paksa tersebut.
Tahap-tahap
awal dalam penagihan pajak yaitu Penerbitan Surat Teguran, Surat peringatan,
atau Surat lain yang sejenis. Tahap tersebut merupakan awal tindakan penagihan
pajak sehingga hal tersebut menjadi pedoman tindakan penagihan pajak berikutnya
yaitu penyampaian Surat Paksa dan sebagainya.
Menurut
KUP Surat Paksa merupakan kegiatan pelaksanaan penagihan pajak yang dilakukan
setelah penerbitan Surat Teguran / Surat Peringatan atau sejenisnya. Surat
Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
Menurut
pasal 8 ayat (1) UU PPSP Surat Paksa diterbitkan apabila:
1) Penanggung pajak tidak melunais utang
pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran dan kepadanya telah
diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis.
2) Terhadap penanggung pajak telah
dilaksanakan penagihan pajak seketika dan sekaligus.
3) Penanggung pajak tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau
penundaan pembayaran pajak.
UU
KUP juga mengatur mengenai jangka waktu bagi Dirjen Pajak untuk melakukan
penagihan pajak. Apabila sudah melampaui jangka waktu yang ditentukan maka hak
untuk melakukan penagihan pajak tersebut menjadi daluwarsa.
Terkait
dengan kasus Pertamina, apabila langkah awal dalam penagihan pajak yaitu
Penerbitan Surat Teguran, Surat peringatan, atau Surat lain yang sejenis
diabaikan. Maka Ditjen pajak dapat melakukan langkah-langkah berikutnya yaitu
penyampaian Surat Paksa dan sebagainya. Dalam penyampaian Surat Paksa tersebut
apabila telah melampaui jangka waktu yang ditentukan maka hak untuk melakukan
penagihan pajak tersebut menjadi daluwarsa.
Demikianlah
rangkaian langkah-langkah yang harus di tempuh oleh Ditjen Pajak dalam
kaitannya dengan kasus ini. Pertamina sebagaimana telah dijelaskan di atas
menunnggak pajak sebesar Rp. 4,2 Triliun. Menjadi kewajiban perusahaan tersebut
untuk melakukan pelunasan pajaknya. Oleh karena itu melalui analisis ini kita
harus melihat terlebih dahulu berada dalam posisi yang manakah Pertamina
tersebut. Apakah Pertamina sudah berada pada Penyampaian Surat Paksa ataukah
masih dalam Surat Teguran atau Surat Peringatan.
Dengan
penjabaran diatas dapat kita simpulkan bahwa di dalam Undang-Undang No. 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dan
Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
atau KUP telah mengatur dasar hukum dalam kaitannya dengan kasus penunggakan
pajak oleh PT. Pertamina (persero). Sehingga dengan kita hubungkan dengan
Undang-Undang tersebut kita dapat mengetahui cara penyelesaian kasus
penunggakan pajak ini.
LAMPIRAN
Pertamina
Tunggak Pajak Rp 4,3 Triliun
Selain
Pertamina, ada Angkasa Pura II, TVRI, BNI, Garuda Indonesia, dan Merpati
Nusantara.
Rabu,
3 Februari 2010, 22:42 Antique, Agus Dwi Darmawan
VIVAnews -
Anggota Komisi XI Murady Darmansyah mengungkap perihal tunggakan pajak PT
Pertamina sebesar Rp 4,3 triliun kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.
Apakah
benar tunggakan sebesar itu atau merupakan masalah yang terakumulasi dari
tahun-tahun sebelumnya, karena dikhawatirkan sudah kadaluarsa. Jawaban tertulis
Dirjen Pajak yang disampaikan ke Komisi XI DPR RI per Selasa, 2 Februari 2010,
ternyata sangat singkat.
Secara tegas Dirjen Pajak menjawab "Tunggakan pajak Pertamina merupakan tunggakan pajak yang belum kadaluarsa". Benar atau tidaknya tunggakan Pertamina sebesar itu, tidak dijelaskan secara rinci.
Secara tegas Dirjen Pajak menjawab "Tunggakan pajak Pertamina merupakan tunggakan pajak yang belum kadaluarsa". Benar atau tidaknya tunggakan Pertamina sebesar itu, tidak dijelaskan secara rinci.
Namun,
dalam segi pemegang piutang, Pertamina memang tercatat sebagai perusahaan BUMN
terbesar pemegang piutang yang mencapai Rp 30 triliun.
Dalam daftar 100 perusahaan penunggak pajak yang dikeluarkan Ditjen Pajak 28 Januari lalu, 12 di antaranya merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Untuk menyelesaikan kasus pajak perusahaan plat merah ini, Menneg BUMN akan mengundang Dirjen Pajak Tjiptardjo.
Pertemuan ini untuk membahas perbedaan-perbedaan penafsiran, misalnya soal restitusi, agar bisa disamakan. BUMN sendiri memastikan dari 12 BUMN itu, hanya tiga perusahaan yang betul-betul menunggak pajak, yakni PT Merpati Nusantara Airlines, PTPN XIV, dan PT Djakarta Loyd.
Dalam daftar 100 perusahaan penunggak pajak yang dikeluarkan Ditjen Pajak 28 Januari lalu, 12 di antaranya merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Untuk menyelesaikan kasus pajak perusahaan plat merah ini, Menneg BUMN akan mengundang Dirjen Pajak Tjiptardjo.
Pertemuan ini untuk membahas perbedaan-perbedaan penafsiran, misalnya soal restitusi, agar bisa disamakan. BUMN sendiri memastikan dari 12 BUMN itu, hanya tiga perusahaan yang betul-betul menunggak pajak, yakni PT Merpati Nusantara Airlines, PTPN XIV, dan PT Djakarta Loyd.
"Pekan
depan akan duduk bersama. Hitung-hitungan BUMN dan Dirjen Pajak (selama ini)
tidak sama, harus disamakan," kata Mustafa di sela Feed the World di
Jakarta Convention Center, belum lama ini.
Dari
BUMN-BUMN yang masuk daftar Ditjen Pajak, Mustafa berjanji akan melakukan
pengecekan lagi yang mana yang bermasalah. "Siapa yang melapor, nanti bisa
diselesaikan langsung antara perusahaan, bussiness to bussiness,"
kata Mustafa. Kementerian BUMN siap memfasilitasi penyelesaian antarperusahaan
ini.
Mustafa juga menuturkan, sebagian kasus tunggakan pajak yang melibatkan BUMN ini merupakan kasus lama, di mana perusahaan kebanyakan merasa sudah menuntaskannya.
"Tapi mungkin, karena sekarang dianggap masih ada masalah maka harus diselesaikan. Itu karena perusahaan BUMN harus sesuai aturan," kata dia.
Mustafa juga menuturkan, sebagian kasus tunggakan pajak yang melibatkan BUMN ini merupakan kasus lama, di mana perusahaan kebanyakan merasa sudah menuntaskannya.
"Tapi mungkin, karena sekarang dianggap masih ada masalah maka harus diselesaikan. Itu karena perusahaan BUMN harus sesuai aturan," kata dia.
12
BUMN yang disebutkan dalam daftar Ditjen Pajak adalah, Pertamina, Angkasa Pura
II, TVRI, BNI, Garuda Indonesia, Merpati Nusantara Airlines, PTPN XIV, KAI,
Pertamina Unit Pembekalan, Jamsostek, Perusahaan Perkebunan, dan LKBN Antara.
SOLUSI
Petugas
pajak seharusnya tidak membiarkan hal ini terjadi, apalagi angka yang ditunggak
itu sangat besar jumlahnya. Hal ini perlu menjadi pekerjaan rumah (PR) Dirjen
pajak agar supaya hal seperti itu tidak
terjadi lagi.
1. Memberikan
langkah kebijaksanaan agar penunggakan segera terbayar meskipun tidak semuanya,
karena jumlahnya cukup besar.
2. Petugas
pajak perlu mengikuti prosedur perpajakan yang diantaranya adalah mengeluarkan
surat pemberitahuan, surat penagihan, surat peringatan dan apabila tidak
tebayar juga, langkah yang terakhir adalah penyitaan. Mungkin dalam hal ini
pertamina sangat dibutuhkan oleh semua kalangan sehingga besar kemungkinan
tidak dapat divakumkan kegiatannya karena dampak yang akan terjadi sangat
besar.
3. Jika
masalah ini tidak segera ditindak oleh PT PERTAMINA, maka penegakan pajak
berhak mengeluarkan sanksi untuk PT PERTAMINA
sebagai akibat dari kelalaian menyetor pajaknya agr supaya hal seperti
diatas tidak terjadi lagi, apalagi sampai ditiru oleh yang lain, karena akan
berdampak buruk bagi negara yaitu pendapatan negara akan berkurang.
Source :http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/126658-pertamina_tunggak_pajak_rp_4_3_triliunDiakses
pada tanggal 5 April 2013 pukul 22.30 WIB
Contoh Kasus Perpajakan
Reviewed by JANIEZ
on
November 23, 2017
Rating:
No comments: