B.
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK
1. NPWP (Nomor Pokok Wajib
Pajak) adalah nomor yang diberikan oleh direktur jendral pajak kepada wajib
pajak sebagai suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan
sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak
dan kewajiban perpajakanya . Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya
diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain itu, Nomor Pokok Wajib Pajak
juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam
pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen
perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk
mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
C. SURAT PEMBERITAHUAN
a. Pengertian Surat
Pemberitahuan
Surat Pemberitahuan yaitu surat yang oleh Wajib
Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek
pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. KUP:pasal 1, angka 11.
b. Fungsi SPT
1. Fungsi SPT bagi wajib pajak
PPh:
a. Sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya
terutang;
b. Untuk melaporkan pembayaran
atau pelunasan pajak yang telah dilakukan sendiri dan/atau melalui
pemotongan atau pemungutan pajak lain dalam satu tahun pajak;
c. Untuk melaporkan pembayaran
atau pelunasan pajak yang telah dilakukan sendiri dan/atau melalui
pemotongan atau pemungutan pajak lain dalam satu tahun pajak;
2. Fungsi SPT bagi pemotong
atau pemungut pajak :
a. Sabagai sarana untuk
malaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan
disetorkannya
3. Fungsi SPT bagi pengusaha
kena pajak
a. Sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah PPN dan PPn-BM yang
seharusnya terutang;
b. Untuk melaporkan pembayaran
atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau
melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak yang telah ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
c. Untuk melaporkan
pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
c. Kewajiban terhadap SPT
• Setiap Wajib Pajak wajib
mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah,
dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jendral Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan
oleh Direktur Jendral Pajak. KUP : Pasal 3 ayat (1)
• Batas waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan adalah :
• Batas waktu pembayaran dan
penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atas Masa Pajak ditetapkan oleh
Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melewati 15 (lima belas) hari setelah
saat terutangnya pajak atau Masa Pajak berakhir.
• Batas waktu pembayaran untuk
kekurangan pembayaran pajak berdasarkan SPT Tahunan paling lambat sebelum SPT
disampaikan.
• Jangka waktu pelunasan surat
ketetapan pajak untuk Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah
tertentu paling lama 2 bulan.
d. Sanksi Keterlambatan
Pembayaran Pajak
Atas keterlambatan pembayaran pajak, dikenakan
sanksi denda administrasi bunga 2% (dua persen) sebulan dari pajak terutang
dihitung dari jatuh tempo pembayaran. Wajib Pajak yang alpa tidak menyampaikan
SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan
dapat merugikan negara yang dilakukan pertama kali tidak dikenai sanksi pidana
tetapi dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% dari pajak yang
kurang dibayar.
D. TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
Wajib Pajak (orang pribadi atau badan) dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya harus sesuai dengan sistem self
assessment, yaitu wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan
pelaporan pajak terutang.
a. Kewajiban Membayar Pajak
Mekanisme Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak
dapat dijelaskan sebagai berikut:
I. Membayar sendiri pajak yang
terutang:
Pembayaran angsuran PPh
setiap bulan (PPh Pasal 25)Ø
Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan
secara angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam
melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak diwajibkan
untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun dengan membayar
sendiri angsuran pajak tersebut setiap bulan.
Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang
sumber penghasilannya dari usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran PPh
Pasal 25 terbagi atas 2 yaitu:
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT).§
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan barang
baik secara grosir maupun eceran dan usaha penyerahan jasa, yang mempunyai satu
atau lebih tempat usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang berbeda dengan
tempat tinggal.
Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x
jumlah peredaran usaha (omset) setiap bulan dari masing-masing tempat usaha
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai
Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT).§
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT
: Penghasilan Kena Pajak x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh : 12
bulan.
Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,-
5%
di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp
250.000.000,- 15%
di atas Rp 250.000.000,- sampai dengan Rp
500.000.000,- 25%
di atas Rp 500.000.000,- 30%
b. Untuk Wajib Pajak Badan,
besarnya pembayaran Angsuran PPh 25 yang terutang diperoleh dari penghasilan
kena pajak dikalikan dengan tarif PPh yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b
Undang Undang Pajak Penghasilan. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a)
UU PPh adalah 25%.
Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran
bruto setahun sampai dengan Rp 50.000.000.000,- mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat
(2a) UU PPh, yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari peredaran bruto
sampai dengan Rp 4.800.000.000,-
c. Membayar PPh melalui
pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh
Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26).
Pihak lain disini adalah:
Pemberi penghasilan;§
Pemberi kerja; atau§
Pihak lain yang ditunjuk atau
ditetapkan oleh pemerintah.§
Penjelasan lebih lanjut mengenai pemotongan dan
pemungutan pajak diuraikan lebih lanjut pada bagian Pemotongan/Pemungutan
(butir 2).
Membayar PPN kepada pihak
penjual atau pemberi jasa ataupun oleh pihak yang ditunjuk pemerintah.§
Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau
penggantian atau nilai ekspor atau nilai lainnya.
Pembayaran Pajak-pajak
lainnya:§
Pembayaran PBB yaitu
pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).§
Pembayaran Bea Meterai yaitu
pelunasan pajak atas dokumen yang dapat dilakukan dengan cara menggunakan benda
meterai berupa meterai tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara lain
seperti menggunakan mesin teraan.§
Meterai tempel yang terutang
untuk dokumen yang menyebut jumlah (kuitansi) di atas Rp 250.000,- sampai
dengan Rp1.00.000,- adalah Rp3.000,-.§
b. Pemotongan / Pemungutan
Pajak
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan
sendiri, ada pembayaran bulanan yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan
yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah
pihak yang ditunjuk berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut,
antara lain yang ditunjuk tersebut adalah badan Pemerintah, subjek pajak badan
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya. Untuk subjek pajak badan dalam negeri, maka
diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungutan pajak.
Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh
Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh
Pasal 15 dan PPN dan PPn BM. Penjelasan lebih lanjut dari masing-masing pajak
tersebut adalah sebagai berikut:
a. PPh Pasal 21 adalah
pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada oleh
Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau
kegiatan yang dilakukan.
Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh
pegawai dipotong oleh perusahaan pemberi kerja. Wajib Pajak berbentuk badan
ditunjuk oleh UU Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang
dibayarkan kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya. Wajib Pajak
perseorangan dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 sepanjang ada
penunjukannya dari KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Selain diwajibkan memotong
PPh Pasal 21, Wajib Pajak perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal
21 atas penghasilan yang diterimanya.
b. PPh Pasal 22 adalah
pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang (seperti
penyerahan barang oleh rekanan kepada bendaharawan pemerintah), impor barang
dan kegiatan usaha di bidang-bidang tertentu serta penjualan barang yang
tergolong sangat mewah.
Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah:
Pemungutan PPh atas pembelian
barang oleh instansi Pemerintah;§
Pemungutan PPh atas kegiatan
impor barang;§
Pemungutan PPh atas produksi
barang-barang tertentu misalnya produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif;§
Pemungutan atas pembelian
bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau
eksportir di bidang perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari
pedagang pengumpul;§
Pemungutan PPh atas penjualan
atas barang yang tergolong mewah§
Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh
Pasal 22 atau dapat juga sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 22.
c. PPh Pasal 23 adalah
pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan
dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, sewa, dan jasa kepada WP
badan dalam negeri, dan BUT.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh
Pasal 23 atas jasa tertentu (jasa service mesin atau komputer) yang
pemotongannya dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.
d. PPh Pasal 26 adalah
pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan
dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, hadiah dan penghasilan
lainnya kepada WP luar negeri.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh
Pasal 26 atas penghasilan tertentu (royalty) yang dilakukan oleh Wajib Pajak
berbentuk badan.
e. PPh Final (Pasal 4 ayat
(2))
Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu seperti
sewa tanah dan/atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan dan lainnya.
Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang
dipotong, dipungut oleh pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh
pihak penerima penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak dapat
dikreditkan lagi dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan.
f. PPh Pasal 15 adalah
pemotongan Pajak penghasilan yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
kepada Wajib Pajak tertentu yang menggunakan norma penghitungan khusus.
g. PPN dan PPnBM adalah
pemungutan PPN dan PPnBM oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau Pemungutan yang
ditunjuk (misalnya Bendahara Pemerintah) atas pengkonsumsian barang dan/atau
jasa kena pajak.
b. Tempat Pembayaran dan Penyetoran
Pajak
Wajib Pajak wajib membayar atau menyetora pajak
yang terhutang dengan mengguanakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui
tempat pembayaran yang diatur atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. KUP
: Pasal 10 ayat (1)
Tempat pembayaran tersebut adalah:
a. Bank-bank yang ditunjuk
oleh Direktorat Jendral anggaran;
b. Kantor pos.
Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh
Undang-Undang Perpajakan untuk melakukan pemotongan/pemungutan tidak melakukan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% dan
kenaikan 100%.
• Batas Waktu Pembayaran
Batas waktu pembayaran atau penyetoran diatur
sebagai berikut :
• Batas Waktu Pembayaran Masa:
No. Jenis
Pajak Batas Waktu Pembayaran atau Penyetoran
1 PPh pasal
21 Paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah
masa pajak berakhir
2 PPh pasal
21-impor Harus dilunasi sendiri oleh wajib pajak bersamaan
dengan pembayaran Bea Masuk. Apabila Bea Masuk dibebaskan atau ditunda,
harus dilunasi pada saat penyelesaian dokuman impor
3 PPh pasal 22-Direktorat
Jendral Bea dan Cukai 1 (satu) hari setelah pemungutan pajak
dilakukan
4 PPh pasal 22- Bendaharawan
Pemerintah Pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran
5 PPh pasal 22 dari penyerahan
oleh Pertamina Dilunasi sendiri oleh wajib pajak sebelum
Suart Pemerintah Pengeluaran Barang (deliveryn order) ditebus
6 PPh pasal 22 yang dipungut
oleh badan tertentu Paling lambat tanbggal 10 bulan takwim
berikutnya
7 PPh pasal 23 dan
26 Paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah
bulan saat terutangnya pajak
8 PPh pasal
25 Paling lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah
bulan saat terutangnya pajak
9 PPN dan
PPn-Bm Paling lambat tanggal 15 bulan takwim
berikutnyasetelah masa pajak berakhir
10
PPN dan PPn-Bm impor Harus dilunasi sendiri oleh wajib pajak
bersamaan dengan pembayaran Bea Masuk. Apabila Bea Masuk dibebaskan atau
ditunda, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokuman impor
11 PPN dan PPn-Bm Direktorat
Jendral Bea dan Cukai 1 (satu) hari setelah pemungutan pajak
dilakukan
12 PPN dan PPn-Bm
Bendaharawan Paling lambat tanggal 7 bulan takwim
berikutnyasetelah masa pajak berakhir
E. SURAT KETETAPAN PAJAK ( SKP
)
Penerbitan suatu Surat Ketetapan Pajak (skp)
hanya terbatas kepada WP tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam
pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh
WP.
Fungsi Surat Ketetapan Pajak Surat ketetapan
pajak berfungsi sebagai :
a) Sarana untuk melakukan
koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil
pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban materiil dalam
memenuhi ketentuan perpajakan.
b) Sarana untuk mengenakan
sanksi administrasi perpajakan.
c) Sarana administrasi untuk
melakukan penagihan pajak.
d) Sarana untuk mengembalikan
kelebihan pajak dalam hal lebih bayar e.Sarana untuk memberitahukan jumlah
pajak yang terutang.
Jenis-Jenis Ketetapan Pajak
a) Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya
jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok
pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
b) Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan sebelumnya.
c) Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar (SKPLB) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan
pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang
terutang atau tidak seharusnya terutang.
d) Surat Ketetapan Pajak Nihil
(SKPN) Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama
besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada
kredit pajak.
e) Surat Tagihan Pajak (STP)
Adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan dalam hal : - Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar
- Dari hasil penelitian SPT terdapat kekurangan
pembayaran pajak akibat salah tulis dan atau salah hitung;
- WP dikenakan sanksi administrasi denda
dan/atau bunga;
- Pengusaha yang dikenakan pajak
berdasarkan Undangundang PPN, tetapi tidak melaporkan
kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; - Pengusaha
yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat
Faktur Pajak,
- Pengusaha Kena Pajak tidak membuat
Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau
tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak. Surat Tagihan Pajak mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak, sehingga dalam hal
penagihannya dapat dilakukan dengan Surat Paksa.
- Pengusaha Kena Pajak
melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak
dikeani sanksi.
- Pengusaha Kena Pajak
yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian pajak masukan
diwajibkan membayar kembali.
F. PENAGIHAN PAJAK
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban
membayar pajaknya, Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan penagihan pajak.
Tindakan ini dilakukan Apabila Wajib Pajak tidak membayar pajak terutang sesuai
dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam Surat Tagihan Pajak(STP), atau Surat
Ketetapan Pajak (skp), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, maka DJP dapat melakukan tindakan penagihan. Proses penagihan
dimulai dengan Surat Teguran dan dilanjutkan dengan Surat Paksa. Dalam hal WP
tetap tidak membayar tagihan pajaknya maka dapat dilakukan penyitaan dan
pelelangan atas harta WP yang disita tersebut untuk melunasi pajak yang
tidak/belum dibayar.
Adapun jangka waktu proses penagihan sebagai
berikut:
1. Surat Teguran diterbitkan
apabila dalam jangka 7 (tujuh) hari dari jatuh tempo pembayaran Wajib Pajak
tidak membayar hutang pajaknya.
2. Surat Paksa diterbitkan
dalam jangka 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat Teguran apabila Wajib Pajak
tetap belum melunasi hutang pajaknya.
3. Sita dilakukan dalam jangka
waktu 2 x 24 jam sejak Surat Paksa disampaikan.
4. Lelang dilakukan paling
singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Sedangkan pengumuman
lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah penyitaan.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan
pencegahan dan penyanderaan terhadap Wajib Pajak/penanggung pajak yang tidak
kooperatifdalam membayar hutang pajaknya.
G. KEBERATAN DAN BANDING
Keberatan yaitu dalam pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak
(WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan
kepadanya atau atas pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini WP
dapat mengajukan keberatan.
1. Hal-hal yang Dapat Diajukan
Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB);
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT);
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
e. Pemotongan atau Pemungutan oleh
pihak ketiga.
2. Ketentuan Pengajuan
Keberatan
Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) di tempat WP terdaftar, dengan syarat:
a. Diajukan secara tertulis
dalam bahasa Indonesia.
b. Wajib menyebutkan jumlah
pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah
rugi menurut penghitungan WP dan disertai alasan-alasan yang jelas.
c. Satu keberatan harus
diajukan untuk satu jenis dan satu tahun/masa pajak.
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban
membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak dan keberatan yang tidak
memenuhi syarat, dianggap bukan Surat Keberatan, sehingga tidak diproses.
3. Jangka Waktu Pengajuan
Keberatan
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak tanggal
dilakukan pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga.
a. Untuk surat keberatan yang
disampaikan langsung ke KPP, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak
tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan
oleh pihak ketiga sampai saat keberatan diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak.
b. Untuk surat keberatan
yang disampaikan melalui pos ( harus dengan pos tercatat ), jangka waktu
3 bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan
pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga sampai dengan tanggal tanda bukti
pengiriman melalui Kantor Pos dan Giro.
1. Tata Cara Pengajuan
Permohonan Banding
Apabila WP tidak atau belum puas dengan
keputusan yang diberikan atas keberatan, WP dapat mengajukan banding. kepada
badan peradilan pajak, dengan syarat:
a. Tertulis dalam bahasa Indonesia.
b. Dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan
atas keberatan diterima.
c. Alasan yang jelas.
d. Dilampiri salinan Surat
Keputusan atas keberatan.
Pengajuan permohonan Banding tidak menunda
kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
Putusan badan peradilan pajak bukan
merupakan keputusan Tata Usaha Negara.
2. Imbalan Bunga
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan
banding diterima sebagian atau seluruhnya, sepanjang utang pajak sebagaimana
dimaksud dalam SKPKB dan SKPKBT telah dibayar yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah
imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran pajak sampai dengan
diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.
Gugatan
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat
mengajukan gugatan kepada bpp terhadap :
1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
2. Keputusan yang berkaitan dengan
pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1)
dan Pasal 26 UU KUP;
3. Keputusan pembetulan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 UU KUP yang berkaitan dengan STP;
4. Keputusan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan STP;
Jangka Waktu Pengajuan Gugatan
1. Gugatan terhadap angka 1 diajukan
paling lambat 14 hari sejak pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang;
H. PEMBUKUAN DAN PENCATATAN
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang
dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang
meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga
perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan
keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak
tersebut.
Pencatatan yaitu pengumpulan data yang
dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau
penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang,
termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang
bersifat final.
a. Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan
1. Wajib Pajak (WP) Badan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang
peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (Empat
milyar delapan ratus juta rupiah).
b. Yang Wajib Menyelenggarakan Pencatatan
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun
kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah), dapat
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan
neto, dengan syarat memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak dalam jangka
waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
c. Syarat-Syarat Penyelenggaraan
Pembukuan/Pencatatan
1. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad
baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
2. Diselenggarakan di Indonesia dengan
menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam
bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
3. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan
dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
4. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan
mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin
Menteri Keuangan.
5. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas
catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta
penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
d. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pencatatan
1. Pencatatan harus menggambarkan antara lain :
a. Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau
jumlah penghasilan bruto yang diterima dan/atau diperoleh;
b. Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau
penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
2. Bagi WP yang mempunyai lebih dari satu jenis
usaha dan/atau tempat usaha, pencatatan harus menggambarkan secara jelas untuk
masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan.
3. Selain kewajiban untuk menyelenggarakan
pencatatan, WP orang pribadi harus menyelenggarakan pencatatan atas harta dan
kewajiban.
e.Tujuan Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
Tujuannya adalah untuk mempermudah:
1. Pengisian SPT;
2. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
3. Penghitungan PPN dan PPnBM;
4. Penyelenggaraan pembukuan juga untuk
mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan usaha/pekerjaan bebas.
f. Tempat Penyimpanan Buku/Catatan/Dokumen
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari
pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program on-line wajib
disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau
tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak
badan. Perubahan Tahun Buku Dan Metode Pembukuan Perubahan terhadap metode
pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari Direktur
Jenderal Pajak.
I. PEMERIKSAAN
Direktorat pajak berwenang melakukan pemeriksaan
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajaan wajib Pajak dan ujuan
antara lain:
1. Pemberian nomr Pokok Wajib
Pajak
2. Penghapusan nomr Pokok
Wajib Pajak
3. Pengukuhan atau pencabutan
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
4. Wajib pajak mengajukan
keberatan
5. Pengumpulan bahan guna
penyususnan Norma Penghitungan Penghaskan Netto
6. Pencocokan data atau alat
ketetrangan
7. Pemeriksaan dalam rangka
penagihan pajak
8. Pemenuhan permintaan
informasi dari Negara mitra perjanjian penghindaran pajak Berganda
Berdasarkan ruang lingkupnya jenis-jenis
pemeriksaan sebagaimana disebutkan di atas dapat dibedakan menjadi pemeriksaan
lapangan dan pemeriksaan kantor. Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang menjadi 6 (enam) bulan
yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi surat panggilan dalam
rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan
dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan yang dihitung
sejak tanggal Surat perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil
Pemeriksaan.
J. PENYIDIKAN DAN SANKSI
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk Mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti imembuat terang tindak pidana di bidang
perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Penyidikan tindak pidana
dibidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu dilingkungan Direktoral Jendral Pajak yang diberi wewenang
khusus sebagai penyidik tindak pidana dibidang perpajakan.
Tindak pidana dibidang
perpajakan dapat berupa kealpaan atau kesengajaan yang dilakukan oleh wajib
pajak. Kealpaan adalah Wajik Pajak Alpa tidak menyampaiakn SPT atau
menyampaiakn SPT tetapi isinya tidak benar atatu tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan Negara. Kealpaan dapat diartikan tidak sengaja lalai
tidak hati-hati atau kurang menindahkan kewajibanya . Kriteria kesengajaan
adalah :
1. Tidak mendaftarkan diri
atau penyalahgunaan NPWP atau NPPKP
2. Tidak menyampaikan SPT
3. Menyampaikan SPT dan atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidk lengkap
4. Menolak untuk dilakukan
pemeriksaan
5. Memperlihatkan pembukuan,
pencatatan atau dokumen lain yang palsu
6. Tidak menyelenggaraka
pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku
catatan atau dokumen lainya atau
7. Tidak menyetorkan pajak
yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan Negara.
SANKSI PERPAJAKAN
Dikenal 2 macam sanksi :
1. Sanksi Administrasi :
Pembayaran kerugian kepada negara, khususnya yang berupa bunga dan kenaikan.
Seperti Bunga 2% per tahun, Denda administrasi dsb.
2. Sanksi Pidana :
Siksaan/Penderitaan merupakan suatu alat terakhir atau benteng hukum yang
digunakan fiskus agar norma perpajakan dipatuhi. Seperti denda pidana,
kurungan, dan penjara.
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka akan diterbitkan suatu surat ketetapan
pajak, yang dapat mengakibatkan pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih
bayar, atau nihil. Berdasarkan pemeriksaan, jenis-jenis ketetapan yag
dikeluarkan adalah: Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT), dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Disamping itu dapat
diterbitkan pula Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal dikenakannya sanksi
administrasi dapat berupa denda, bunga, dan kenaikan.Sanksi administrasi
sehubungan dengan surat ketetapan pajak dan surat taguhan pajak berdasrakan UU
No 28 tahun 2007 tentangKetentuan Umum dan Tata cara Perpajakan.
Tabel sanksi administrasi yang ada dalam
surat ketetapan pajak disajikan dalam uraian dibawah ini.
Sanksi denda:
No Pasal
Masalah Sanksi Keterangan
1 7 (1) SPT
Terlambat disampaikan :
a.
Masa Rp100.000 atau Rp500.000 Per SPT
b.
Tahunan Rp100.000 atau Rp 1.000.000 Per SPT
2 8 (3)
Pembetulan sendiri dan belum disidik 150%
Dari jumlah pajak yang kurang dibayar
3 14 (4)
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, tetapi tidak membuat faktur pajak
atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
2% Dari DPP
pengusaha
yang telah dikukuhkan sebagai PKP yang tidak mengisi faktur pajak secara
lengkap 2% Dari DPP
PKP
melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur
pajak 2% Dari DPP
Sanksi bunga:
No Pasal
Masalah Sanksi Keterangan
1. 8 (2 dan
2a) Pembetulan SPT Masa dan Tahunan
2% Per bulan, dari jumlah pajak yang kurang dibayar
2. 9 (2a dan
2b) Keterlambatan pembayaran pajak masa dan
tahunan 2% Per bulan, dari jumlah pajak
terutang
3. 13 (2)
Kekurangan pembayaran pajak dalam SKPKB 2%
Per bulan, dari jumlah kurang dibayar, max 24 bulan
4. 13 (5)
SKPKB diterbitkan setelah lewat waktu 5 tahun karena adanya tindak pidana
perpajakan maupun tindak pidana lainnya 48%
Dari jumlah paak yang tidak mau atau kurang dibayar.
5. 14 (3) a.
PPh tahun berjalan tidak/kurang bayar 2%
Per bulan, dari jumlah pajak tidak/ kurang dibayr, max 24 bulan
b. SPT
kurang bayar 2% Per bulan, dari jumlah
pajak tidak/ kurang dibayr, max 24 bulan
14 (5) PKP
yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak
Masukan 2% Per bulan, dari jumlah pajak
tidak/ kurang dibayr, max 24 bulan
6. 15 (4)
SKPKBT diterbitkan setelah lewat waktu 5 tahun karena adanya tindak pidana
perpajakan maupun tindak pidana lainnya 48%
Dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
7. 19 (1)
SKPKB/T, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan kurang
bayar terlambat dibayar 2% Per bulan, atas
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
8. 19 (2)
Mengangsur atau menunda 2% Per bulan,
bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan
9. 19 (3)
Kekurangan pajak akibat penundaan SPT 2%
Atas kekurangan pembayaran pajak
Sanksi kenaikan:
No Pasal
Masalah Sanksi Keterangan
1. 8 (5)
Pengungkapan ketidak benaran SPT sebelum terbitnya SKP
50% Dari pajak yang kurang dibayar
2. 13 (3)
Apabila: SPT tidak disampaikan sebagaimana disebut dalam surat teguran,
PPN/PPnBM yang tidak seharusnya dikompensasikan atau tidak tarif 0%, tidak
terpenuhinya Pasal 28 dan 29
a. PPh
yang tidak atau kurang dibayar 50% Dari PPh
yang tidak/ kurang dibayar
b.
tidak/kurang dipotong/ dipungut/ disetorkan
100% Dari PPh yang tidak/ kurang dipotong/ dipungut
c.
PPN/PPnBM tidak atau kurang dibayar 100%
Dari PPN/ PPnBM yang tidak atau kurang dibayar
3. 15 (2)
Kekurangan pajak pada SKPKBT 100% Dari
jumlah kekurangan pajak tersebut
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Reviewed by JANIEZ
on
November 23, 2017
Rating:
No comments: