A. Pengertian
Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan terhadap
orang pribadi atau perseorangan dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang
diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak. Ditinjau dari segi
sejarahnya, pajak sudah ada sejak jaman dahulu kala yang saat itu pemberiannya
sukarela dari rakyat kepada rajanya. Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti
(pemberian secara cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang
dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada
seorang raja atau penguasa. Saat itu, rakyat memberikan upetinya kepada raja
atau penguasa berbentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya
seperti pisang, kelapa, dan lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu
digunakan untuk keperluan atau kepentingan raja atau penguasa setempat dan
tidak ada imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat karena memang
sifatnya hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara
psikologis karena kedudukan raja yang lebih tinggi status sosialnya
dibandingkan rakyat.
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 6 Tahun
1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan Undang-Undang No. 28 Tahun
2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah “kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.
B. Sejarah
Pajak Penghasilan
Sejarah
pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax
(huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa
terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau
bangunan. Pada periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan
perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan Eropa, dengan kata
lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam
perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan
kepada orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya business tax
atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882
hingga 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status
pribadi, pemilikan rumah dan tanah.
Pada 1908
terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan
badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang
sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang
bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat
pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari
1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu. Selanjutnya, tahun 1920 dianggap
sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan
dengan diperkenalkannya General income tax yakni Ordonansi pajak pendapatan
yang diperbaharui pada tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting
1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi,
orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi pajak pendapatan ini telah
diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas
sumber.
Karena desakan
kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti
perkebunan-perkebunan (on dememing), pada tahun 1925
ditetapkanlah Ordonasi pajak perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de
Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan tethadap laba perseroan, yang
terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami
beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan
Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang
dalam praktck lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya
adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend
dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan cuti pajak
(tax holiday).
Ordonasi PPs
1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat
diadakannya reformasi pajak, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai
berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak
pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi
Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan
tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111)
yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak
penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk
Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di
Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.
Dengan makin
banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak
terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935
ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban
kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif
progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan
Oorlogsbelasting (Pajak perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun
1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama
Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak
Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. saja.
Ord. PPd. 1944
setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968
yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan
Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak
Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS".
Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan
tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya reformasi pajak di
Indonesia.
C. Ketentuan
1. Subyek
pajak Penghasilan
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, subyek
pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
a. Subyek
pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam
suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia.
b. Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
c. Subyek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
b. Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
c. Subyek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
· pembentukannya berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
· pembiayaannya bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
· penerimaannya dimasukkan dalam anggaran
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
· pembukuannya diperiksa oleh aparat
pengawasan fungsional negara; dan
d. Bentuk
usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183
hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan
berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.
D. Pajak
Pengahasilan
Menurut Waluyo (2006) : “pajak penghasilan adalah
pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang
diterima atau yang diperolehnya dalam tahun pajak.”Menurut ketentuan pajak,
pajak penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya
melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya pajak tersebut dimaksudkan
untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainya. Oleh karena itu dalam
rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban
pajak subjektif yang penting. Dalam pajak penghasilan tarifnya dapat
dibedakan menjadi beberapa tarif,sebagai berikut :
1) Tarif
marginal
Persentase tarif ini berlaku untuk suatu kenaikan
dasar pengenaan pajak. Sebagai contoh , tarif pajak penghasilan untuk tahun
2009 bagi wajib pajak orang (perhatikan contoh tarif progresif) bahwa tarif
marginal untuk setiap tambahan penghasilan kena pajak yang melebihi 0 sampai
dengan Rp.50.000.000,00 sebesar 5% yang diikuti pula setiap tambahan
penghasilan kena pajak diatas Rp.50.000.000,00 sampai dengan tarif marginal 15%
dan seterusnya.
2) Tarif
efektif
Persentase tarif pajak yang efektif berlaku atau harus
diterapkan atas dasar pengenaan pajak tertentu.
1. Kutipan
Undang-Undang Tentang Pajak Penghasilan
a. Yang
termasuk subjek pajak penghasilan
1) Orang
pribadi
Adalah mereka yang tinggal atau (berdomisili) atau
berada di Indonesia ataupun diluar indonesia tanpa melihat batas umur, jenjang
sosial ekonomi dan kebangsaan dan kewarganegaraannya.
2) Warisan
Warisan yang belum belum terbagi satu kesatuan
menggantikan yang berhak warisan merupakan subjek pengganti, menggantikan
mereka yang berhak yaitu ahli waris.
3) Badan
Sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha.
4) Bentuk
usaha tetap (BUT)
Perusahaan luar negeri yang bergerak dalam kegiatan
ekonomi suatu negara, dalam hal ini negara Indonesia. Subjek pajak dapat pula
dibedakan yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa subjek pajak dalam negeri adalah wajib pajak
membuat SPT sementara subjek pajak luar negeri tidak wajib membuat SPT.
b. Termasuk
objek pajak penghasilan
Yang menjadi objek pajak penghasilan yaitu, setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat di pakai untuk
dikonsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama
dan dalam bentuk apapun, termasuk :
1. Penggantian
atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang PPh.
2. Hadiah
dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3. Laba
usaha.
4. Keuntungan
karena penjualan atau pengalihan harta :
- Keuntungan
karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan badan lainnya sebagai
pengganti saham atau penyertaan modal.
- Keuntungan
yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta
kepada pemegang saham, sekutu atau anggota.
- Keuntungan
karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau
pengambilalihan usaha.
- Keuntungan
karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang
diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan
badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yg ditetapkan oleh menteri keuangan sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha,pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan
5. Penerimaan
kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
6. Bunga
termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
7. Dividen,
dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
8. Royalti.
9. Sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10. Penerimaan
atau perolehan pembayaran berkala contoh leasing.
11. Keuntungan
karena pembebasan utang kecuali yang diatur pada PP 130 Tahun 2000 (atas
keuntungan karena pembebasan utang debitur kecil termasuk Kukesra, KUT, KPRSS,
KUK dan kredit kecil dan hanya dapat dinikmati satu kali dalam satu tahun pajak
sampai dengan jumlah Rp 350 Juta).
12. Keuntungan
karena selisih kurs dengan mata uang asing.
13. Selisih
lebih karena penilaian kembali aktiva.
14. Premi
Asuransi.
15. Iuran
yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
16. Tambahan
kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
E. Bukan
Subyek Pajak
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 200 menjelaskan tentang
apa yang tidak termasuk obyek pajak sebagai berikut:
a. Badan
perwakilan negara asing.
b. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
c. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.
d. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.
b. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
c. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.
d. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.
F. Obyek
Pajak Penghasilan
Objek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi
atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apapun. Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip
pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak
dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
wajib pajak darimanapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau
menambah kekayaan wajib pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang PPh tidak
memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya
tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak
tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk
kegiatan rutin dan pembangunan. Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat
dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib
Pajak
Karena Undang-undang PPh menganut pengertian
penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh
dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak.
Dengan demikian, apabila dalam satu Tahun Pajak suatu usaha atau kegiatan
menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan
lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri.
Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif
yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan
tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif
umum.
Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi
atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apapun.
CONTOH PERHITUNGAN
PPH
Oleh Moh. Makhfal Nasirudin, Pegawai Direktorat
Jenderal Pajak
Seperti yang telah kita ketahui, mulai bulan Januari 2013, Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) telah berubah. Sekarang untuk Wajib Pajak yang
berstatus tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan jumlah PTKP-nya sebesar Rp
24.300.000,00 atau setara dengan Rp 2.025.000,00 per bulan. Dengan adanya perubahan
itu, tatacara penghitungan PPh Pasal 21 juga mengalami perubahan. Perubahan itu
diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang
Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa,
dan Kegiatan Orang Pribadi.
Dalam aturan baru tersebut, yang berkewajiban melakukan Pemotongan PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah pemberi kerja, bendahara atau pemegang
kas pemerintah, yang membayarkan gaji, upah dan sejenisnya dalam bentuk apapun
sepanjang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; dana
pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain
yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan
hari tua; orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
serta badan yang membayar honorarium, komisi atau pembayaran lain dengan
kondisi tertentu dan penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah,
organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi
serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium,
hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi
berkenaan dengan suatu kegiatan.
Penghitungan PPh Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut, dibedakan
menjadi 6 macam, yaitu : PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun
berkala; PPh pasal 21 untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas;
PPh pasal 21 bagi anggota dewan pengawas atau dewan komisaris yang tidak
merangkap sebagai pegawai tetap, penerima imbalan lain yang bersifat tidak
teratur, dan peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai yang
menarik dana pensiun. Di kesempatan ini akan dipaparkan tentang contoh
perhitungan PPh pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala
dibedakan menjadi 2 (dua): Penghitungan PPh Pasal 21 masa atau bulanan yang
rutin dilakukan setiap bulan dan Penghitungan kembali yang dilakukan setiap
masa pajak Desember (atau masa pajak dimana pegawai berhenti bekerja).
Berikut disampaikan contoh sebagai mana tercantum dalam peraturan tersebut.
Budi Karyanto pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp3.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi Karyanto membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran pensiun untuk Budi Karyanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto hanya menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:
Budi Karyanto pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp3.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi Karyanto membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran pensiun untuk Budi Karyanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto hanya menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:
Gaji
|
3.000.000,00
|
|
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja
|
15.000,00
|
|
Premi Jaminan Kematian
|
9.000,00
|
|
Penghasilan bruto
|
3.024.000,00
|
|
Pengurangan
|
||
1. Biaya jabatan
|
||
5%x3.024.000,00
|
151.200,00
|
|
2. Iuran Pensiun
|
50.000,00
|
|
3. Iuran Jaminan Hari Tua
|
60.000,00
|
|
261.200,00
|
||
Penghasilan neto sebulan
|
2.762.800,00
|
|
Penghasilan neto setahun
|
||
12x2.762.800,00
|
33.153.600,00
|
|
PTKP
|
||
- untuk WP sendiri
|
24.300.000,00
|
|
- tambahan WP kawin
|
2.025.000,00
|
|
26.325.000,00
|
||
Penghasilan Kena Pajak setahun
|
6.828.600,00
|
|
Pembulatan
|
6.828.000,00
|
|
PPh terutang
|
||
5%x6.828.000,00
|
341.400,00
|
|
PPh Pasal 21 bulan Juli
|
||
341.400,00 : 12
|
28.452,00
|
Catatan:
- Biaya
Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai
pegawai tetap tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
- Contoh
di atas berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah memiliki NPWP.
Dalam hal pegawai yang bersangkutan belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh
Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Juli adalah sebesar: 120% x Rp28.452,00=Rp
34.140,00
Pajak Penghasilan (PPh)
Reviewed by JANIEZ
on
November 24, 2017
Rating:
No comments: